Sunday, February 2, 2020

Buat Apa Menampilkan Gaya Hidup Palsu di Media Sosial?

gaya hidup palsu, kebahagiaan palsu

Membangun citra diri yang positif di media sosial memang perlu, tetapi jangan sampai melakukan kebohongan dengan menampilkan kebahagiaan palsu. 

Berdasarkan riset dari Learnvest, 56 persen generasi milenial mengakui mereka mengunggah foto di media sosial agar dinilai mampu berlibur, beli barang-barang bermerek, atau makan di tempat yang lebih mahal dibanding kehidupan mereka sebenarnya. Survei itu dilakukan terhadap 1.000 responden.

Tak sedikit pula orang yang sampai berhutang untuk membiayai gaya hidup palsu demi kebahagiaan palsu diluar kemampuan finansial mereka sebenarnya. Ada juga orang yang membuat kebohongan di media sosial agar hidupnya dinilai sempurna dan bahagia, padahal kenyataannya rapuh.

Menurut Fran Walfish, ahli psikoterapi, banyak orang nekat melakukan pembohongan kepada pengikut di media sosial karena mereka ingin menimbulkan kecemburuan dan membuat diri mereka lebih disukai, terutama untuk para mantan dan pasangan mereka saat ini. Jadi alasannya membangun citra diri seolah-olah mereka sudah bahagia meski tanpa mantan atau pasangan mereka. Namun, ada juga karena didasari alasan nilai materialistis.

Selain itu, berdasarkan studi tahun 2012 yang dipublikasi di Journal of Personality and Social Psychology, generasi milenial memang lebih mengutamakan uang, penampilan dan ketenaran.

Apa pun alasannya, yang jelas unggahan tersebut berdampak negatif. Sebagian besar generasi milenial mengatakan merasa tertekan mengikuti gaya hidup orang yang dilihatnya di media sosial.

Pengeluaran pun akan bertambah membengkak karena tergiur memiliki gaya hidup teman yang dianggapnya sempurna, bergelimang harta. Menurut survei, tak sedikit orang yang memaksakan diri membiayai sesuatu di luar kemampuannya, misalnya berlibur, atau membeli barang mahal terbaru, gara-gara melihat postingan-postingan foto keren orang lain di media sosial.
Postingan Sebelumnya
Postingan Selanjutnya